
ETIKA ORGANISASI
Artie Pramita Aptery
Widyaiswara Ahli Muda Balai Diklat Badan Narkotika Nasional
Penata / III-c / 198604012009022004
Jl. Mayjen H.R. Edi Sukma Km 21 Lido, Bogor, Jawa Barat
Telepon : 0251-8222244 Fax : 0251-8222260
artiepramita@gmail.com
1. Latar Belakang
Etika merupakan dapat menentukan perjalanan peradaban suatu bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, urgensi etika sebagai pedoman berbangsa dan bernegara, kehadiran regulasi yang mengatur etika penyelenggara negara dinilai mendesak sebagai rujukan kode etik.
Disisi lain tuntutan perbaikan segala sektor bidang kehidupan masyarakat menuntut pelayanan aparatur yang semakin berkualitas semakin deras dan tidak terelakkan lagi. Dengan demikian diperlukan pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya aparatur penyelenggara negara secara efektif dan efisien.
Berbicara etika, tentu tidak lepas dari pembahasan integritas. Etika memberi landasan bagi ketentuan dalam membangun integritas. Penyelenggara negara dituntut untuk menyelenggarakaan negara yang baik, etis, amanah, berakhlak mulia, mencegah niat dan praktik perbuatan yang menyimpang (nilai, norma, aturan) dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.
Bak gayung bersambut, penyelenggaraan tugas kenegaraan mendapat suntikan nutrisi dengan kehadiran UU ASN. UU ASN diharapkan memberi dampak penyempurnaan yang meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari’. Termasuk didalamnya terdapat penyempurnaan konsep Pengembangan, Pola Karier, Promosi, Mutasi, dan Penilaian Kinerja
2. Kajian Teoritis
2.1. Pengertian Etika
G.R.Terry (2012:206) mendefinisikan etika berhubungan dengan kelakuan pribadi serta keajiban moral yang berkaitan dengan hubungan-hubungan manusia berkenaan dengan persoalan benar dan salah.
Etika menyangkut soal moral dan filsafat. Etika berhubungan dengan kelakuan indivudu-individu serta standar-standar yang mempengaruhi antar hubungan antara individu-individu.
Dengan demikian Etika adalah perbuatan yang berhubungan dengan etik. Etik adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan perbuatan benar atau salah. Dan Etis adalah perbuatan yang beretika baik. Seseorang yang tidak etis adalah yang melakukan etika perbuatan melanggar etik.
2.2. Konsep Etika
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai,dan norma perilaku manusia yang baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berikut ini beberapa teori etika:
1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan / atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain.
2. Utilitarianisme
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number).
3. Deontologi Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang / kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi. Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.
4. Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama.
Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu
a. Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sistem / yurisdiksi hukum suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan.
b. Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain
c. Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan / kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing kontrak. Teori hak atau yang lebih dikenal dengan prinsip-prinsip HAM mulai banyak mendapat dukungan masyarakat dunia termasuk dari PBB. Piagam PBB sendiri merupakan salah satu sumber hukum penting untuk penegakan HAM. Dalam Piagam PBB disebutkan ketentuan umum tentang hak dan kemerdekaan setiap orang. PBB telah mendeklarasikan prinsip-prinsip HAM universal pada tahun 1948, yang lebih dikenal dengan nama Universal Declaration of Human Rights (UdoHR). Diharapkan semua negara di dunia dapat menggunakan UdoHR sebagai dasar bagi penegakan HAM dan pembuatan berbagai undang-undang/peraturan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Pada intinya dalam UdoHR diatur hak-hak kemanusiaan, antara lain mengenai kehidupan, kebebasan dan keamanan, kebebasan dari penahanan, penangkapan dan pengasingan sewenang-wenang, hak memperoleh memperoleh peradilan umum yang bebas, independen dan tidak memihak, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat,menganut agama, menentukan sesuatu yang baik atau buruk menurut nuraninya, serta kebebasan untuk berkelompok secara damai.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens, 2000). Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Karakter / sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat / watak yang telah melekat / dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secar amoral disebut manusia hina. Bertens (200) memberikan contoh sifat keutamaan, antara lain: kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan untuk pelaku bisnis, sifat utama yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan dan keuletan.
6. Teori Etika Teonom
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaiman dituangkan dalam kitab suci.
2.3. Pengertian Organisasi
Menurut Robbins dan Judge (2013:2) menyatakan bahwa organisasi merupakan suatu unit sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri atas dua atau lebih orang-orang, yang berfungsi dalam suatu basis yang kontinyu untuk mencapai suatu tujuan bersama atau serangkaian tujuan.
Sementara itu, Weber (dalam Littlejohn dan Foss, 2014:362) mendefinisikan sebuah organisasi sebagai sebuah sistem kegiatan interpersonal yang memiliki maksud tertentu yang dirancang untuk menyelaraskan tugas-tugas individu. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya otoritas, spesialisasi dan regulasi.
Aspek dari pengertian yang dikemukakan oleh Weber ini ialah bahwa suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini mempunyai unsur sebagai berikut :
a. Organisasi merupakan tata hubungan sosial, dalam hal ini seseorang individu melakukan proses interaksi sesama didalam organisasi tersebut.
b. Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (bounderis), dengan demikian seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu.
c. Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses interaksidi antara orang-orang yang bekerja sama di dalamnya, sehingga interaksi tersebut tidak muncul begitu saja.
d. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini ialah terdapatnya hirarki (hierarchy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa di dalam organisasi ada pimpinan atau kepela dan bawahan atau staf.
2.4. Teori-teori Umum Organisasi
Menurut George R. Terry (2014:74)menyebutkan bahwateori-teori tentang pengorganisasian yang paling penting diantaranya:
a. Teori Neo-Classical yakni teori yang menitikberatkan pada penyelesaian pekerjaan. Pencapaian pekerjaan yang maksimum dicari melalui logika dan pengaturan keseimbangan dari fungsi-fungsi yang diperlukan.
b. Teori Fungsi yakni teori yang menyatakan bahwa seorang individu menggunakan organisasi untuk mencapai tujuan pribadi dan sebaliknya, orang menggunakan individu-individu tersebut untuk meencapai tujuanya melalui proses “personalisasi”, si individu mencari kebebasan untuk keputusan dan melakukan tugasnya secara optimal, sedangkan organisasi tersebut melalui proses “sosialisasi” menginginkan pelaksanaan tugas-tugas kerja dan memberi imbalan atau hukuman. Proses personalisasi dan sosialisasi tersebut dirangkum melalui pengorganisasian (menurut teori tersebut).
c. Teori Kuantitatif yakni faktor-faktor yang dapat diukur dan berpengaruh terhadap pengorganisasian dipadukan disini dan diproses sedemikian rupa guna mendapatkan organisasi yang terbaik yang dapat mengatasi hambatan-hambatan. Gambaran faktor-faktor yang dapat diukur ialah jumlah keputusan yang diambil oleh setiap manajer dan jumlah orang yang melapor kepada seorang manajer. Di dalam keadaan-keadaan tertentu, dibuat model-model matematis dan rumusan-rumusan tugas. Teori tersebut berusaha untuk meningkatkan ketepatan kerja dan perubahan orang tersebut.
d. Teori Sistem, Di dalam teori ini, pengorganisasian dipandang sebagai sistem dari variabel-variabel yang saling mengisi dan didalamnya termasukIndividu-individu.
2.5. Perilaku Organisasi
Robbins dan Judge (2013:5) mendefinisikan perilaku organisasi sebagai studi yang menginvestasi pengaruh individu, kelompok dan struktur terhadap perilaku didalam organisasi untuk tujuan penerapan pengetahuan demi peningkatan efektivitas organisasi.
Disisi lain, aspek-aspek tingkah laku individu dalam suatu organisasi terangkum dalam perilaku organisasi. Rangkuman yang menyeluruh bahwa perilaku organisasi adalah secara langsung berhubungan dengan pengertian, ramalan, dan pengendalian terhadap tingkah laku orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut mempengaruhi usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi. Adapun gambaran umum perilaku individu terhadap organisasi dapat dilihat sebagaimana pada model Umum Perilaku dalam Organisasiyang dirumuskan oleh Thoha (2013:35) sebagai berikut:
Gambar 1.
Model Umum Perilaku dalam Organisasi
Sumber : Miftah Thoha (2013:35), diolah.
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku organisasi merupakan interaksi perilaku individu yang meliputi potensi kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, pengharapan terhadap organisasi yang memiliki sistem hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward, sistem kontrol dan lainnya. Semua variabel diatas akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dengan hubungan yang saling ketergantungan.
James D. Thompson (Handoko, 2003:196) mengemukakan pendapatnya bahwa terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan sebagaimana berikut:
a. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), yakni bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
b. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), yakni di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
c. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence)yakni hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
3. Riset terkait
Dalam sebuah laporan atas diskusi nilai-nilai dan etika pelayanan publik yang disponsori oleh pemerintah Kanada (Kernaghan dan Langford, 2014:254) menyebutkan pentingnya aturan yang jelas dalam mengelola pelayanan publik terutama bukan hanya mengunakan instrumen nilai-nilai namun juga menetapkan tanggungjawab dan perilaku penyelenggara pelayanan publik secara tegas. Heintzman (dalam Kernaghan dan Langford, 2014:254) bahkan menyarankan bahwa aturan main dalam pelayanan publik tidak hanya diatur sedemikian rupa namun memiliki visi yang baik dalam menampilkan kualitasnya.
“…that codes of conduct should set out not only rules but also a vision of good in form of values”. Dengan demikian diperlukan pengaturan yang lebih terang terkait etika dalam organisasi birokrasi yang memberikan pelayanan publik secara efektif.
3.1. Konsep Etika Organisasi
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 TAP MPR tersebut mengedepankan nilai-nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Etika kehidupan berbangsa adalah mencakup etika sosial budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan.
Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.
Pada dimensi etika organisasi pemerintah, antara lain mencakup etika dalam organisasi, etika dalam pemerintahan, etika dalam jabatan, serta nilai-nilai kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai trend global etika pemerintahan.
4. Pembahasan
Huijbers (dalam Syahuri:2014) menyebutkan Norma etika atau disebut juga dengan istilah norma moral berbeda dengan norma hokum. Norma hukum itu biasanya terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan dan sanksinya tegas, maka norma moral itu hidup dalam masyarakat dan sanksinya tidak tegas.
Dalam konteks ketatanegaraan kita, munculnya Komisi Yudisial yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap norma moral terkait perilaku hakim merupakan suatu terobosan yang melahirkan pergeseran makna terhadap norma etika. Demikian pula Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Berbangsa, mengatur pejabat Negara akan tyunduk kepada etika kehidupan berbangsa sebagai rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dala berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Perkembangan lain, kini telah mengemuka pemikiran perlunya norma moral diadopsi untuk dijadikan sebagai norma hokum dalam suatu undang-undang. Dalam hal ini, pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dapat dijadikan contoh konkrit bahwa norma moral dapat diadopsi menjadi norma hokum. Oleh karena itu, pelanggaran atas norma tersebut dapat berakibat diberikan sanksi yang tegas, meskipun bukan dalam hokum pidana, karena pelanggaran tersebut adalah pelanggaran atas kode etik perilaku hakim. Misalnya seorang hakim melakukan perbuatan tercela, yang jika dilihat dari sisi hokum, belum sampai kepada kualifikasi perbuatan pidana, akan tetapi tetap diancam dengan sanksi, yaktu sanksi pelanggaran etika.
Hal tersebut diatas, tentunya telah menepis konsep etika lain yang dikemukakan Hart yang menjelaskan bahwa tidak perlu ada hubungan antara norma moral dan norma hokum. Artinya, norma moral berdiri sendiri di samping norma hokum. Momentum pergeseran ini bisa jadi pertanda tertentu yang dapat meluas ke ranah etis organisasi birokrasi lainnya.
5. Kesimpulan
Dengan adanya Penyusunan RUU tentang Etika Penyelenggara Negara diharapkan dapat menjadi upaya bagi tersedianya perangkat hukum untuk menegakkan nilai-nilai moral
Etika Penyelenggara Negara penting karena memiiki fungsi sebagai (1) Sarana pembelajaran; (2) Pengembangan etos kerja; dan (3) Instrumen hukum & acuan dlm pembentukan kode etik.
6. Daftar pustaka
1. Syahuri, Taufiqurohman, KY Pengawal Norma Etika Yang Dipositfkan, tidak dipublikasikan, Makassar, 2014;
2. Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A, Teori Komunikasi Theories of human communication , Jakarta, Salemba Humanika, 2014;
3. Robbins, P.Stephen dan Judge, Timothy A, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), Edisi 16, Salembe Empat, Jakarta, 2013
4. Yukl, Gary, Kepemimpinan Dalam Organisasi, Edisi Kelima, Indeks, Jakarta, 2010
5. Kernaghan, Kenneth and Langford, Jhon, The Responsible Public Servant, Second Edition, 2014, Canada
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
8. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja;
9. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara;
10. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat Di Luar Kantor;
11. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana;